“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”
Kutipan Matius 19:6 diatas terkesan disulap untuk dijadikan dasar hukum dan alasan bagi pihak Tergugat yang tidak setuju dengan adanya gugatan perceraian, disebuah Pengadilan Negeri yang terletak di Jakarta melalui tim kuasa hukumnya.
Sebuah dasar hukum ataukah dasar agama ?
Ibarat habis manis sepah dibuang, Penggugat (entah suami, entah isteri) yang mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan senantiasa memiliki seribu satu macam alasan untuk mengakhiri ikatan perkawinan mereka. Perceraian tidak dapat disamakan dengan tukar tambah Handphone, ibarat setiap diluncurkan produk Samsung seri terbaru si Udin bisa langsung tukar tambah ke ITC Roxy Mas di Grogol. Sementara ada pihak yang beropini, Perceraian, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima kematian. Kalau kita bicara agama, perceraian merupakan suatu hal yang dilarang atau dimurkai Allah.
Dengan demikian sangat jelas agama tidak pernah sekalipun merekomendasikan setiap pasangan untuk mengakhiri ikatan perkawinannya dengan jalan perceraian, kecuali maut atau kematian yang memisahkan mereka. Sebaliknya, kalau kita bicara hukum, perceraian merupakan suatu peristiwa hukum dengan segala akibatnya, yang didahului oleh perbuatan hukum seseorang (entah suami, entah istri) yang telah diatur oleh UU No.1 Tahun 1974.
Perceraian menurut hukumpun telah diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 yang menjelaskan bahwa Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
- Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
(alasan atau alasan-alasan, mencerminkan bahwa cukup hanya satu alasan saja dari enam alasan dimaksud, dapat dijadikan dasar hukum untuk mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan)
Dengan demikian patut dipahami semua pihak, perceraian yang dilarang oleh agama namun diatur oleh hukum, harus disikapi bijak dan serius, jika mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga namun gagal mempertahankan keutuhan hati nurani dan jiwa, itu melahirkan benih masalah baru secara psikologis, hindari sebuah keluarga yang utuh tapi dalamnya rapuh! Dari hasil pengamatan penulis, ada hal-hal yang telah diekspresikan oleh seseorang, sebut saja Dewi, begini kutipannya, “bagi saya, Tuhan berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan?”
Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Hantu, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi saya, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Tidak ada yang bukan Tuhan. Ia tak mengenal konsep “kecuali”.
Lalu, akan ke mana setelah perceraian ini? Dewi menjawab “saya tidak tahu”. Apakah akan ada penyesalan? Sekali lagi, “saya tidak tahu”. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran. Kemudian, apa penyebab Dewi dan suaminya bercerai ? Mereka sadar, menerima, dan memaafkan. Bahwa hidup telah membawa mereka ke titik perpisahan. Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul.
Kebenaran kadang memang sukar dipahami, hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya ketika kita berupaya mendefinisikan kata CINTA, pada akhirnya kita cuma bisa merasakan akibatnya. Secara terpisah, pandangan beberapa pemuka agama, tokoh masyarakat dan praktisi hukum tidak sedikit yang berpendapat lain, “perceraian itu memang jahat, namun demikian rumah tangga yang diselimuti dengan kekerasan (KDRT) itu jauh lebih jahat!” Ambilah perceraian sebagai jalan terakhir, konsultasilah dengan bijaksana sebelum mengambil langkah hukum ini.